Oleh : Priyo Suprandowo, S.Pd.
(Guru Kelas 4A SD Muhammadiyah Bantul
Kota)
Dunia
pendidikan adalah salah satu pilar yang perlu terus mentransformasi diri
agar bisa menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Selain itu, kesiapsiagaan
pendidikan demi tercapainya tujuan, yakni mempersiapkan peserta didik memasuki
dunia baru. Diperlukan sosok guru yang mampu menjalankan peran kompleks
dan mampu menyesuaikan dengan tuntutan kompetensi juga sosok atau profil guru
yang tetap berkarakter dalam bingkai kearifan kultural lokal dan siap mengantarkan anak didik memasuki “dunia
baru”, dalam bingkai teknologi dan budaya.
Dunia baru yang
meniscayakan teknologi digital di berbagai aspek kehidupan adalah sebuah
kenyataan sekaligus tantangan dan hal ini being
together (ada dan bersama) mewarnai dunia pendidikan. Apalagi kondisi sekarang ini, adanya
pandemi Covid-19 yang membawa dampak multidemensional di berbagai lini
kehidupan, tidak terkecuali pada bidang pendidikan. Tentu saja pandemi saat ini
ikut mendorong akselerasi digitalisasi pendidikan. Suatu hal yang belum akrab
terdengar bagi sebagian besar pelaku pendidikan (baca : guru) di Indonesia.
Pada akhirnya, perubahan yang cukup revolusioner akibat pandemi ini
menimbulkan "kejutan sosial" yang menuntut adaptasi guru secara
drastis. Salah satu yang esensial adalah mengenai sistem pembelajaran yang semula
berlangsung tatap muka, kemudian menjadi daring. Hal itu dapat dikenal dengan term pembelajaran jarak jauh (PJJ) atau
belajar dari rumah (BDR), yakni proses belajar mengajar yang dilaksanakan pada
ruang publik virtual di mana guru dan anak didik bertemu tanpa interaksi fisik secara
langsung.
Hal di atas tentu saja menimbulkan banyak
pengaruh, salah satunya interaksi dan internalisasi nilai kultural dan moral
menjadi terhambat. Etos dan karakter guru yang bisa dikatakan memesona di mata anak didik seolah-olah menjadi
terhalang. Penanaman nilai moral dan budaya, salah satunya budaya kearifan lokal pun tidak terjadi secara maksimal. Anak didik
kembali dalam ranah keluarga yang nota bene menjadi “beban” tersendiri bagi
orang tua dalam proses mentransfer materi pembelajaran. Apalagi keberlangsungan
pandemi yang sampai merebut dunia belajar
hingga dua tahun lebih ini.
Persoalan di atas menjadi wacana yang perlu
dikemas dengan bijaksana untuk dicarikan suatu solusi. Pemanfaatan media
teknologi tentunya sudah menjadi kebutuhan untuk dijadikan rel pembelajaran. Persoalan lain, terkait dengan etos guru sebagai trend setter dalam ranah pendidikan
masih terasa hambar. Guru masih merasa ada sesuatu yang hilang, yakni anak
didik yang menjadi wadah keilmuannya dan ruang
yang bisa diisi dengan nilai kehidupan, budaya, dan kearifan lokal.sebagai salah
satu pondasi dalam pembentukan karakternya.
Maka, sekarang ini, dengan adanya program Pembelajaran
Tatap Muka Terbatas seefektif mungkin bisa dijadikan sarana untuk kembali menghidupkan nafas belajar mengajar. Selain itu, guru tetap harus banyak
mempersiapkan diri sampai akhirnya nanti kegiatan belajar mengajar berjalan
secara normal. Salah satu persiapan mendasar yang perlu dilakukan guru adalah
berbenah diri, mereview jati diri sebagai
wujud reinkarnasi dan psiko-kultural dalam ranah kearifan
lokal. Hal ini dimaksudkan agar ketika suasana belajar mengajar mulai normal,
tidak menjadi wahana yang serta merta langsung
pada pokok materi pelajaran semata.
Mulai dari jati diri seorang guru tentunya, upaya
untuk mencari asupan suplemen dalam
rangka kembali reinkarnasi. Menggapai
sesuatu yang hilang di tengah
gencarnya melakukan digitalisasi
dalam pembelajaran. Salah satu dunia yang
hilang itu adalah jiwa kultural sebagai setting
atau ruang di mana seorang guru sebagai lakon
tengah berada di sana.
Oleh karena itu, dapat ditulis di sini bagaimana
guru dalam reinkarnasinya kembali memahami nilai-nilai kearifan lokal budaya
tempat seorang guru berada. Bisa kita langsung terangjelaskan di sini nilai
kearifan lokal budaya Jawa. Sebuah tatanan kultural yang memang banyak digali dari
berbagai ajaran budaya secara kejawen
namun mampu melegitimasi jiwa dan karakter guru. Dalam hal ini dapat kita tuliskan
tentang konsep asta brata sebagai
suatu ideologi filosofis dalam kearifan lokal budaya Jawa.
Secara ideologi, memang konsep astabrata tercermin dari ajaran
ke-Hindu-an. Namun dalam perjalanan sejarahnya, nilai filosofis dari ajaran astabrata mampu menembus berbagai
kompleksitas segenap nilai kehidupan manusia. Jika menilik secara leksikal
Jawa, makna astabrata, dapat
diartikan bahwa asta berarti delapan,
tangan, atau pun pegangan. Kata brata
bisa dimaknai sebagai hati, jiwa, dan semangat.
Berkaitan dengan pemaknaan tersebut, maka secara
umum dapat dikatakan bahwa astabrata merupakan
sebuah landasan atau pegangan dari jiwa-jiwa insani dalam berkehidupun di
manapun serta kapan pun yang jumlahnya ada delapan nilai yang mampu menggugah
semangat berkehiduapan serta berkebudayaan.
Berdasarkan hal di atas, ada sebuah hal menarik apabila
konsep astabrata ini dimanifestasikan
sebagai landasan awal psiko kultural
untuk seorang guru yang nota bene juga manusia. Insan yang salah satunya juga ada
yang memiliki atau pun paham seluk beluk kearifan lokal budaya Jawa. Sebagai catatan
penting agar kita tidak berpikir negatif dan melenceng, konsep filosofis astabrata di sini tidak menjadikan atau
melahirkan guru beraliran hinduisme
atau pun guru yang Jawa ansih. Namun bisa dijabarkan dalam konteks yang luas. Konsep
astabrata di sini pun hanya dibatasi
dari sisi nilai filosofisnya yang secara heurmenitis
dapat memberikan makna kejiwaan yang objektif. Terlebih lagi kepada guru yang pada akhirnya mampu menjadi “tren setter”. Pendidikan serta dapat memberikan nilai moral
budaya yang baik kepada anak didiknya.
Guru adalah seseorang yang memiliki kemampuan
untuk mengarahkan anak didiknya dalam mencapai tujuan luhur dari sebuah
kegiatan proses belajar. Selain itu, guru menjadi figur yang memiliki kemampuan
mempengaruhi anak didik, baik secara individu atau kelompok. Guru tentu harus mampu mengarahkan tingkah
laku anak didik yang harapannya memiliki kemampuan atau keahlian khusus dalam
bidang yang diinginkan serta sesuai cita-cita luhurnya.
Sudah semestinya pula sebelum seorang guru secara
ideal mampu mengarahkan, mempengaruhi, serta mendidik orang lain (baca :
siswanya), dia harus mampu mendidik, mengarahkan, serta mempengaruhi dirinya
sendiri. Maka, konsep filosofis nilai dari ajaran budaya astabrata inilah salah satu landasan untuk hal tersebut. Dengan
demikian, secara singkat akan dijelaskan nilai filosofis dari delapan landasan
kejiwaan (astabrata) kaitannya dengan profesi guru.
Nilai filosofis pertama astabrata adalah indrabrata yang
maksudnya mempunyai jiwa seperti air (indra dalam konteks Jawa). Guru itu
selalu memikirkan nasib anak didiknya. Seorang guru selalu berjuang untuk
kebaikan bagi anak didiknya. Maka, guru
dalam segala tindakannya dapat membawa kesejukan dan kewibawaan Seorang guru
haruslah adil seperti air, yang jika di seduh di gelas akan rata mengikuti
wadahnya. Keadilan yang ditegakkan bisa memberi kecerahan bagi semua siswa.
Ibarat air yang membersihkan kotoran. Air juga tidak pernah “pilih kasih” karena
siapa pun dan apa pun akan dibasahinya.
Nilai filosofis kedua astabrata adalah yamabrata. Kata
yama dalam konteks Jawa berarti awan/mega/mendung. Guru hendaknya meneladani sikap dan sifat awan atau mendung yang tegas dalam hukum alam.bahwa mendung bisa memberi ketegasan akan hadirnya hujan. Kaitannya
dengan indrabrata bahwa guru harus
tegas dalam keadilan. Guru harus selalu
menegakkan hukum atau peraturan yang berlaku di sekolah atau di kelas demi mengayomi anak didiknya. Harus menindak
tegas namun secara arif dan bijaksana kepada anak didiknya yang bersalah. Guru
tidak boleh pilih kasih. Guru pun harus mampu memberikan hukuman berupa
keteduhan (seperti saat mendung). Hukuman tersebut harus bersifat edukatif
dimana hukuman yang bertujuan untuk memperbaiki kesalahan namun penuh
keterdidikan.
Nilai filosofis ketiga astabrata adalah suryabrata.
Kata surya berarti matahari., pusat
kehiduapn yang tangguh dan penuh semangat. Seorang guru yang baik harus mampu
memberi semangat dan kekuatan yang penuh dinamika kepada anak didiknya. Guru
seperti matahari menjadi sumber energi bagi semua anak didik. Dengan demikian
diharapkan proses belajar mengajar juga berjalan terarah dan luwes. Guru harus
dapat memberikan penerangan kepada anak didiknya serta memberikan kekuatan belajar
kepadanya. Matahari itu memancarkan sinarnya ke
segala pelosok dunia dan menerangi seluruh alam semesta ini tanpa pandang
tempat, rendah dan tinggi. Dengan demikian guru hendaknya tidak jemu-jemu
mengadakan komunikasi (take and give)
dengan anak didiknya sehingga mengetahui benar tentang keadaannya.
Nilai filosofis keempat astabrata
adalah candrabrata. Candra dalam Bahasa Jawa berarti rembulan. Guru hendaknya memiliki sifat
dan sikap yang mampu memberikan penerangan anak didiknya yang berada dalam kegelapan
dan kebodohan dengan wajah yang penuh kesejukan seperti rembulan (candra),
penuh simpati, sehingga siswa menjadi tentram dan belajar dengan nyaman.
Rembulan juga bersifat halus budi, terang perangai, menebarkan keindahan kepada
seisi alam. Seorang guru harus berlaku demikian, menjadi penerang bagi anak
didiknya agar dapat meraih ilmu dengan kecerdasan dan keterampilannya.
Nilai filosofis astabrata yang
kelima adalah bayubrata. Dalam bahasa
Jawa, bayu berarti angin, Guru harus belajar dari nilai filosofis angin. Senantiasa memberikan kesegaran
dan selalu turun ke bawah melihat anak didiknya yang mempunyai masalah. Angin
tidak berhenti memeriksa dan meneliti, selalu melihat perilaku manusia. Maka
seorang guru harus berjiwa teliti di mana saja berada. Baik dan tidaknya
karakter anak didik harus diketahui oleh guru, Termasuk tingkat kesukaran belajar dari anak didik maupun
dalam menjalankan tugas-tugasnya, guru perlu memahami atau mengetahuinya.
Nilai filosofis astabrata yang
keenam adalah kuwerabrata. Arti dari
kata kuwera dalam konteks Jawa adalah
bumi, bantala, buwana. Guru hendaknya memiliki sifat-sifat utama dari bumi. Guru
memberikan segala yang dimilikinya demi kecerdasan dan keterampilan anak didik.
Bumi menjadi landasan pijak dan memberi kehidupan (kesejahteraan) untuk manusia.
Bumi selalu dicangkul dan digali, namun bumi tetap ikhlas dan rela. Begitu pula
dengan seorang guru, juga rela berkorban untuk kepentingan anak didik. Selain
itu, guru harus memiliki sikap welas asih
seperti sifat-sifat bumi. Guru haruslah dapat memberikan teladan yang baik
kepada anak didiknya, misalnya berpakaian dan berpenampilan yang rapi. Sikap
dan wicara yang sopan, dan sebagainya.
Nilai filosofis astabrata yang
ke tujuh adalah barunabrata yang
artinya seperti samudera. Sebuah samudera memiliki wawasan yang luas, mampu
mengatasi setiap persoalan belajar siswa dengan baik, penuh kearifan dan
kebijaksanaan. Samudera merupakan wadah air yang memiliki sifat pemaaf. Sebagaimana
sifat air dalam sebuah samudera yang siap menampung apa saja yang hanyut dari
daratan. Samudra mencerminkan jiwa yang menerima perbedaan/pluralisme dalam kelas
atau sekolah yang berkarakter majemuk, Guru mau mendengarkan suara hati atau
pendapat anak didik dan bisa menyimpulkannya secara baik,
Terakhir dari nilai filosofis astabrata adalah agnibrata
yang bermakna guru hendaknya memiliki sifat mulia yang dimiliki api (agni),
yang selalu mendorong anak didiknya memiliki sikap nasionalisme. Seperti api,
berarti guru juga harus memiliki prinsip menindak yang bersalah tanpa pilih
kasih. Api bisa membakar apa saja, menghanguskan semak-semak, menerangi yang
gelap. Guru bisa bersabar namun juga bisa marah namun terarah, Seorang guru
haruslah mempunyai semangat yang berkobar-kobar laksana agni dan dapat pula mengobarkan semangat anak didik yang diarahkan
untuk menyelesaikan segala tugas belajar yang menjadi tanggung jawabnya.
Dari paparan singkat di atas, maka pertanyakan kepada diri kita
sebagai guru. Sudahkah sesuai dengan nilai filosofis dari ajaran kearifan lokal
budaya Jawa (baca astabrata) ? Jika belum, hendaknya kita perlu menciptakan benggala untuk lebih mawas diri di
setipa lini kehidupan kita, baik di rumah, sekolah, mapun masyarakat luas.
Melakukan proses reinkarnasi searif
mungkin demi kebaikan profesi kita, itu menjadi keniscayaan yang perlu segera
dilaksanakan. Semoga ruang lingkup budaya sekitar kita tetap melahirkan
nilai-nilai kearifan yang senantiasa menjadikan jiwa keguruan kita menjadi
kekuatan untuk meningkatkan kualitas pendidikan negeri tercinta ini.
Sumber/Media Baca :
Sidharta.
(2010). Kepemimpinan
Hindu Asta Brata dan Nasehat Sri Rama Lainnya. Paramitha.
Sudarmiati,
N. (2020). Landasan Ajaran Asta Brata Dalam Kepemimpinan Kepala Sekolah Di SMA
N 7 Luwu
Timur.
Syamsul,
H. (2017). Penerapan Kepemimpinan Kepala Sekolah Dalam Meningkatkan Kinerja
Guru
Pada
Jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP). Idaarah: Jurnal Manajemen Pendidikan,
Usman, H.
(2013). Manajemen:
Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan (4th ed.). Bumi Aksara.